Thursday, November 20, 2008

Alia (bag.-2)

Liburan ke Yogya adalah pilihan kami secara demokratis. Itu membuat Adi, Bams, dan Nisa bersorak gembira. Mereka yang memilih dan mengatur sendiri pakaian dan mainannya, kecuali si bungsu Nisa yang masih harus dibantu bundanya. Mereka tak hentinya menunjukkan keusilan sebagai letupan kegembiraan. Apalagi Nisa yang baru belajar iseng membongkar-bongkar bonekanya, juga mainan kakaknya. Mereka anak-anak yang aktif, aku bangga pada mereka. Fatma yang tiap hari dibuat kewalahan oleh putra-putri kami pun - meski dengan wajah yang tak lepas dari gurat letih - senantiasa terhibur oleh kelucuan dan pola tingkah cerdas mereka yang spontan.
Lebih menyenangkan menjelajah Yogya dengan berkendaraan sendiri, maka kami berangkat dari Jakarta dengan mobil pribadi. Di dalam perjalanan, Adi dan Bams tak lelah menghafal-hafal nama kota yang kami lalui. Bahkan mereka membuat gambar peta berdasarkan imajinasi mereka sendiri. Suatu kreatifitas yang terkadang membuatku geli sendiri sekaligus bangga.
Setiba di Yogya, kami menginap di wisma yang cukup nyaman Milik Pak Gunadi, Letaknya tak jauh dari Alun-alun Keraton. Kata rekan kerjaku yang orang Yogya, dari sini tempat-tempat yang akan kami kunjungi dapat dijangkau lebih mudah.
Pada hari pertama, penjelajahan kami dimulai dengan mengunjungi sebuah rumah produksi batik. Selain dapat memilih baju yang telah jadi, kami bisa pula melihat cara membuatnya. Aku dan Fatma kemudian memilih beberapa batik untuk dipakai sendiri dan beberapa lagi untuk oleh-oleh.
Setelah puas, kami pun beranjak dari tempat itu menuju pesanggerahan pelatihan lukis kain. Ini adalah permintaan Adi dan Bams yang berbakat lukis. Mereka sangat antusias dan konsentrasi mengikuti kursus kilat itu yang hanya berlangsung setengah hari.
Tengah hari telah lewat, kelelahan tergambar di wajah anak-anak. Setelah kunjungan kami usai, pelan-pelan kubawa mobil melintasi jalan malioboro yang ramai sesak. Kami pun singgah untuk mampir ke sebuah restoran. Setelah memesan menu, makanan itu pun disantap dengan lahapnya. Kami pun keluar dari restoran itu dengan perut yang kenyang.
Tapi rasa kenyang tak membendung watak asli anak-anak yang usil. Sore itu, mereka masih saja berlarian di antara pedagang pinggir jalan malioboro. Aku segera mengejar Bams yang biasanya lebih ceroboh. Hampir saja ia menarik rontok seikat mainan kayu yang menarik perhatiannya. Sedangkan Adi sudah sibuk memilih-milih aksesoris di koridor seberang jalan dari tempat kami berdiri.
Ia melambai-lambaikan tangannya sambil tertawa nakal. Isyaratnya memanggilku untuk menyusulnya, pikirku ia ingin dibelikan sesuatu. Kupinta Fatma menunggu sebentar sementara aku menyeberangi jalan menjemputnya.
Adi terus melambai tak sabaran sambil berlari, hingga tanpa sengaja menubruk seorang gadis berjilbab, "Brukk..." Adi terjatuh. Gadis itu kaget sekali. Namun ia dengan sigap menunduk dan meraih membantu Adi berdiri. "Kau tidak apa-apa adik kecil?" tanya gadis itu prihatin sambil menatap Adi, terpana.
Adi menunduk dan menggeleng, "Maafin Adi Tante!" kata Adi menyesal.
"Tidak apa-apa, Tante tidak marah koq!" hibur gadis itu kemudian.
"Kamu bersama siapa, Adi?" tanya gadis itu akhirnya.
Adi kemudian menunjuk ke arahku yang telah berada tak jauh di belakang mereka. Gadis itu menoleh, dan betapa terperanjat aku saat kutahu bahwa gadis itu adalah Alia. Aku tak menyangka akan bertemu dengannya di kota ini. Pertemuan ini adalah yang pertama kalinya sejak berpisah sepuluh tahun lalu menjelang pernikahanku dan Fatma.
Alia pun tak kalah kagetnya. Matanya menatapku terpaku sambil tangannya masih menggenggam pergelangan Adi. Mungkin darahnya terkesiap melecut kegaguannya hingga tak mampu berkata apa-apa. Aku merasa ragu dengan sikapnya yang tak bisa kutafsirkan. Apakah ia masih menyimpan amarah atau sekedar guncangan yang khas.
Tiba-tiba Adi melepas tangan Alia dan berlari menarik ujung bajuku, "Ayah, Adi yang salah" serunya khawatir jika ayahnya marah. Adi melirik Alia pelan. Kuusap punggung Adi menenangkan, mengangguk dan mencoba tersenyum pada Alia.
"Alia. Tidak sangka bertemu denganmu di sini" sapaku menekan ragu.
"Ya. Aku juga tidak menyangka.." Ia tertunduk menatap Adi. Kini wajahnya melembut.
"Putramu?"
"Ya, dan kurasa kalian sudah saling kenal" tanyaku meyakinkan. Alia tersenyum dan mengangguk.
Sesaat kemudian Fatma menyusul kami. Ia langsung menghampiri Alia. "Lama sudah kita tidak bertemu, Alia! Aku senang bisa melihatmu lagi" sapanya sambil memeluk gadis itu.
"Senang bertemu kalian juga." Alia tersenyum ramah dan menyambut pelukan Fatma..canggung namun hangat.
Ia nampak tulus menghadapi pertemuan ini. Seakan-akan waktu telah menyembuhkan lukanya. Aku merasakan penyesalan yang dalam karena pernah memperlakukannya tidak adil. Bagaimana pun aku ingin sekali mengungkapkan permohonan maafku padanya, walau mungkin baginya hal itu sudah terlambat.
"Oh ya, Alia. Kamu sedang apa di Yogya?" tanyaku mengubah topik.
"Aku bersama rekan kantor dan beberapa relasi mengikuti pelatihan di UGM sejak tiga hari lalu. Kebetulan siang tadi kegiatannya usai. Besok kami berencana kembali ke Jakarta."
"Aku melihatmu sedang berbelanja!" tanya Fatma menimpali.
"Ya...sekedar oleh-oleh" katanya tersenyum sambil melirik tas bawaannya.
Kami terdiam. Entah harus berkata apa lagi. Perasaan canggung kembali merayapi kami.
"Maafkan aku..!" Kalimat Alia yang tiba-tiba terlontar menyergap perhatianku. Ia menatap kami lekat.
"...karena aku tidak memenuhi undangan pernikahan kalian."
Fatma kulihat tertunduk. "Tak perlu minta maaf, Alia. Semua itu sudah berlalu!" kataku cepat. Saat pernikahan itu justru aku berharap ia tak hadir. Aku tak ingin melihatnya semakin terluka.
"Itu benar...meskipun ada hal yang membutuhkan waktu untuk bisa dimengerti." Kalimat itu seakan merajut. Seperti sengaja dititipkan pada angin...lalu menohokku tajam. Aku bisa mengerti yang dimaksudnya.
'Jadi itu yang selama ini ingin kau katakan, Alia?' kataku membatin. Sungguh...aku tak tahan lagi menahan rasa bersalahku.
"Alia...! Maukah kau memaafkan kami?" Kata-kata yang selama ini terkunci dalam penatku akhirnya terungkap.
Mata Alia yang terpana dalam.. menatap kami bergantian. Ia terdiam lama, membuat debaran jantungku berdetak kencang. Tapi akhirnya ia menggeleng pelan, "Seperti katamu dulu Dani, waktu akan berbicara. Yang ingin kukatakan adalah waktu telah menyadarkan aku satu hal, bahwa betapa aku telah khilaf dan bersalah padamu. Beberapa waktu lalu setelah mendengar kabarmu dan Fatma aku merasa terhibur. Hal yang telah lama kunanti-nanti adalah bertemu kalian. Aku ingin melihat kebahagiaan kalian, dan itu terwujud kini. Sungguh, kini aku senang, aku bahagia."
Betapa indah kalimat itu. Ini terlalu sempurna. Aku hampir tak percaya. Sesaat lalu kutahu waktu tak cukup untuk menyapu sesalku, namun beberapa menit setelah perjumpaan ini Alia sendiri yang menyembuhkan luka itu. Rahasia apakah ini? Fatma segera merengkuh tubuh Alia dan terisak pelan tak dapat bicara.
Mata Alia penuh haru. Ia telah tegar menerima kenyataan. Sungguh aku bangga padanya. Bahkan aku berharap kami dapat bersahabat kembali seperti dulu. Betapa hari ini telah kau kumpulkan kami kembali dalam kebaikan, Ya Allah. Engkau telah Mendengar doa-doaku. Kuhembuskan nafas lega di dada, merasakan beban yang telah terlepas jauh.

Entah sejak kapan Ahyar berdiri di sana menyaksikan kami. Lalu ia pun datang menghampiri.
"Hai Dani. Senang melihatmu disini. Kota Jogya memang asik untuk berlibur, ya." Ia kelihatan ceria sekali. Sama sekali tidak ragu memperlihatkan keakraban kami. Alia tersenyum penuh arti, ekspresi yang tak asing itu...
"Ya, Ahyar menceritakan semuanya tentang kalian. Aku sebenarnya sempat protes juga saat Ahyar cerita padaku bahwa kalian sudah saling mengenal sejak proyek dua tahun lalu. Kalau aku tahu kita kan bisa membuat hal yang lebih besar lagi dari itu. Masih ingat kan Dani, saat di kampus dulu.......
Meskipun kaget melihat perubahannya, aku senang melihat Alia berkisah, ia memperlihatkan antusiasnya kembali. Melihatnya seperti ini terasa seperti tak pernah ada masalah di antara kami. Sore itu kami tergelak bersama hingga hari hampir mengulum petang. Ahyar dan Alia pun berpamit pulang. Fatma memintanya untuk sesekali mampir ke rumah kami dan Alia menyanggupi. Mereka pun berjalan bersisihan dan saling tersenyum mesra. Kami pun berpisah menyisakan satu lagi tanda tanya tentang perubahan sikap Alia pada Ahyar. Belum lagi habis penasaran itu, tiba-tiba hand phone-ku bergetar. Sms dari Ahyar.
"Aku tidak membuang waktu lagi seperti katamu, Dani. Aku telah membawanya padamu, dan akan kuambil ia kembali. Alia telah menerima lamaranku!!"
Oh, nikmat-Mu yang mana lagi yang dapat kami sangkal.....

The End

Makassar, 16 April 2008
Alia (bag.-1)

Hingga dhuha tadi, hujan sempat mengguyur kota. Awan tipis masih menyisakan hawa sejuk yang merayapi sudut gedung pencakar langit yang sumpek. Mentari yang menelusupkan sinarnya pun mulai tersenyum cerah nan bersahabat, mengendurkan syaraf pekerja kantor yang senantiasa bersemangat.
Tugasku masih banyak menumpuk, tapi perutku siang ini bergemeriuh minta diisi. Jika tidak, maag itu akan menderaku lagi. Jika kuturuti fighting spirit tentu pekerjaan ini tidak ada habisnya. Kebetulan usai dhuhur tadi Ahyar sms ingin ditemani makan siang sambil membicarakan sesuatu. Itu cukup membantuku meninggalkan penat sejenak.
Setiba di Restoran Lumayan, tampak Ahyar telah menanti, ia melambai padaku. Segera saja kuhampiri ia.
"Hai Dan, syukurlah kau mau kuajak makan siang ini. Aku tidak mengganggumu kan!" sapa Ahyar.
"Kali ini kau beruntung kawan. By the way, ada yang penting banget ya?" sahutku menimpali.
Tapi Ahyar hanya diam mengangguk. Aku heran saja, tidak biasanya Ahyar mengajak lunch di restoran mahal seperti ini. Tapi suasananya asik juga, nyaman dan tenang.
Sejak bertemu pada sebuah proyek pesisir, aku dan Ahyar jadi sering terlibat bersama dalam kerjasama bisnis. Kami semakin dekat hingga bisa dibilang hubungan kami sudah selayaknya saudara sendiri. Meski jarang bertemu namun kami telah saling mengenal watak. Keluarga kami pun sudah sama akrabnya. Aku senang berkawan dengannya. Ia smart, berpikir praktis, dan berpandangan ke depan. Kami sering bertukar pikiran dan ngobrol dari hati ke hati.
"Ada apa gerangan. Katamu ingin membicarakan sesuatu.." tanyaku mendesak.
"Kita makan dululah!" Kata itu saja yang diucapkannya.
Kami pun menikmati beragam sea food yang telah tertata apik, benar-benar menarik selera. Apalagi jika disantap saat lapar seperti ini, akan terasa sangat nikmat. Ahyar menyantap hidangan itu dengan lahap, bagaikan tak makan seharian. Hanya saja ia lebih pendiam. Aku pun tidak mengusiknya hingga hidangan tersebut habis tuntas.
Usai makan, kukatakan padanya bahwa aku mendapat paket liburan karena targetku setahun ini tercapai. Begitulah, mengekspresikan kegembiraan adalah kebiasaan kami. "Baguslah..Selamat ya" Ia tersenyum, tapi matanya tak bercahaya. Sikapnya membuatku hawatir.
"Ahyar, sebenarnya ada apa denganmu? Sejak tadi kau diam saja" tanyaku mengalihkan topik. Sejak awal tadi ia tidak banyak bicara. Aku curiga ini bukan masalah bisnis. Wajahnya pun muram.
"Kabar Alia bagaimana?" Mungkinkah gadis itu ada hubungannya dengan keresahan Ahyar ini?
Wajah yang sedari tadi tertunduk, diangkatnya pelan. Tak elak ia menimpali, "Alia...!? Kabarnya baik, Dan. Ia selalu tampil lebih baik dan bersemangat setiap harinya. Bahkan saat bertemu, ia semakin terampil membuat alasan untuk menghindar dariku!" Benar, gundah itu pun dilontarnya dengan suara meninggi. Ia tidak butuh waktu lebih lama menahan keluh yang mengganjal hatinya.
"Oh ho, rupanya ini masalah wanita ya..!" Aku sedikit menggodanya. Sejurus kemudian kuminta ia tenang.
"Bicaralah perlahan, aku akan mendengarmu" kataku serius.
Sambil memperbaiki duduknya, Ahyar bertanya, "Dani, kamu pernah cerita bukan, bahwa Alia dulu adalah sahabatmu!"
"Betul"
"Maksudku..harus bagaimana lagi untuk mengetuk hati Alia. Kau tahu kan kalau aku mencintainya. Sudah berbagai cara kulakukan agar aku bisa mengungkapkan isi hatiku. Aku menginginkannya, Dan. Namun itu bagaikan hal yang mustahil. Untuk bisa mendekatinya saja alangkah sulitnya. Aku tidak menduga ada wanita sedingin Alia di dunia ini..." kata Ahyar masygul. Matanya meronakan kesedihan mendalam, galau. Cinta dan kagumnya telah menanamkan azzam pada dirinya untuk melamar gadis itu. Namun kini Ia seperti orang yang putus asa.
Awalnya aku merasa heran. Yang kutahu, Ahyar bukanlah tipe cowok yang akan sulit berhubungan dengan seorang wanita. Jika ia mau, ia bisa dengan mudah mendapatkan wanita mana pun. Bagaimana tidak, ia laki-laki yang supel, populer, karismatik, terpelajar, ganteng, kaya, dan yang terpenting ia laki-laki yang baik dan sholeh. tak sedikit wanita yang mengidamkan diri menjadi bidadarinya. Tapi keherenan itu seketika lenyap saat kutahu gadis yang ia maksud adalah Alia.
"Dani, maukah kau membantuku?" suara Ahyar membuyarkan lamunanku.
"Aku memang pernah menjadi sahabatnya. Aku tahu ia wanita yang sangat ketat menjaga diri, sangat keras terhadap dirinya sendiri, juga sangat mudah baginya menganggap sesuatu hal sebagai ancaman. Meskipun aku pernah mengingatkan bahwa sifat itu suatu saat bisa merugikan dirinya sendiri, ia tidak berubah. Tapi, aku tetap menghargai ia yang kuat memegang prinsip. Kurasa ia selalu tahu apa yang dilakukannya." jelasku.
Ahyar diam menyimak. .
"Masalahnya, Alia jarang mengkomunikasikan pikirannya dan keinginannya yang bersifat pribadi. Ia hanya membiarkan orang lain menebak-nebak" kataku menambahkan.
"Aku merasa ada sesuatu yang telah terjadi padanya. Pernahkah ia putus cinta? Atau mungkin disakiti oleh lelaki?" Pertanyaan Ahyar membuatku rikuh. Seketika lidahku kelu. Aku bimbang, apakah harus menceritakan kisah lalu itu ataukah diam. Sungguh tidak mudah mengungkap derita hati yang telah kukubur dalam. Hal itu sama saja dengan merobek luka lama yang sejatinya belum sembuh...
"Benar Ahyar. Alia pernah mencintai seseorang. Namun cintanya dikhianati.." Suaraku tercekat. Rasanya memalukan sekali. Ingin kutarik saja kalimat itu kembali. Ahyar memandangku sangsi.
"Dan orang itu adalah kamu..?" Begitu cepat pertanyaan spekulatif itu menyerangku. Wajahnya serius. Mungkinkah bercerita akan membuat Ahyar paham. Ya Allah, semoga yang kulakukan ini baik dan benar.
"Benar. Orang itu adalah aku!" Ahyar kaget terpaku, nampaknya ia tak percaya.
"Ahyar, Akan kuceritakan kau yang sebenarnya. Saat itu aku limbung, Yar." Kuceritakan padanya apa yang pernah terjadi antara aku dan Alia.
"Dulu saat kuliah, Alia adalah wanita yang sangat pendiam namun karakternya kuat dan menonjol. Ia mampu memberi pengaruh positif terhadap teman-teman yang berada di dekatnya. Dengan sikapnya yang ramah dan lembut, lebih banyak berbuat ketimbang bicara. Ia sangat dikagumi oleh siapapun. Kekaguman itu pula yang membuatku betah bersahabat dengannya. Sikap ramahnya tak berbatas, bahkan ia bisa bergaul baik dengan orang-orang yang tidak kami sangka. Ia teman yang sangat kompak dan visioner. Tapi dalam masalah cinta, Alia seperti sebuah misteri. Ia sulit sekali diraih."
"Kekagumanku padanya lambat laun menimbulkan cinta yang mendalam. Suatu hari, sorot mata Alia tak sengaja menafsirkan sesuatu. Setiap kali saat pandangan kami sekilas bertemu, mata itu menarik seluruh perhatianku. Hingga suatu ketika tak urung lagi kuutarakan perasaanku padanya. Saat itulah makna sorot mata Alia terkuak, ia juga mencintaiku. Hati siapa yang tak bahagia merasakan cinta yang bersambut. Aku benar-benar mencintainya. Mendengar jawabannya aku bahagia tiada tara, jantungku seperti melompat-lompat. Hanya dengan mendengar jawaban itu membuatku sangat bersyukur dan beruntung. Meski hampir tak percaya, aku menikmati saat-saat itu bagaikan berada dalam mimpi yang terindah. Tak percaya karena teman-teman bilang mustahil 'menembak' seorang Alia. Aku berhasil. Aku terlena.
Aku terlalu kalap oleh rasa gembira, hingga shoke ketika kuminta ia jadi pacarku dan Alia menolak. Ia tidak ingin pacaran. Ia hanya memintaku bersabar untuk menyimpan rapi perasaan itu tanpa alasan yang jelas. Batinku bertanya sampai kapan?"
"Sungguh saat itu aku tidak mengerti apa yang ia pikirkan. Yang kurasakan adalah kecewa dan terabaikan. 'Untuk apa katakan cinta jika akhirnya tak bersama' aku merasa disia-siakan. 'Apa salahnya berpacaran, apakah aku begitu menjijikkan?' batinku menangis. Aku tidak terima dengan sikap angkuhnya itu. Ia tidak berhak melakukan ini padaku. Selama ini aku tidak pernah ditolak dan tidak sedikit yang ingin menjadi kekasihku. Aku tidak terima. Mengapa mesti Alia....!' Saat itu aku limbung. Menganggap itu suatu petaka yang terhebat. Itu karena aku benar-benar menyukainya. Ia yang kuinginkan, tidak yang lain."
"Waktu berlalu hingga menjelang kami lulus kuliah. Alia tidak pernah berubah, sikapnya, pandangan matanya masih hangat seperti dulu. Melihatnya seperti itu batinku justru makin terasa sakit dan tersiksa. Kami begitu dekat namun kerinduanku begitu memuncak. 'Alia, hatimu terbuat dari apa? Tuntutlah aku dengan satu hal saja, jangan diam begitu. Apa sebenarnya yang ingin kau tunjukkan padaku?' Kalimat itu yang selalu menemani luka-luka hatiku."
"Hingga suatu saat, sahabat kami Fatma, sengaja hadir mengisi hari-hari sepiku. Sikapnya yang lemah lembut senantiasa menemani dan menghiburku. Tanpa kusadari aku bergantung apapun padanya. Bisa dikatakan ia adalah obat perindu. Dengan kejam aku menghakimi Alia dengan selalu memperlihatkan kebersamaan kami. Setelah itu segalanya berubah. Meskipun konsistensi Alia masih ada di hadapanku pandangannya tak lagi hangat, matanya terluka oleh kebersamaan kami. Ia membeku. Lama setelah itu aku baru tersadar bahwa aku telah menodai cintaku. Aku sakit telah melukai Alia. Namun, semua sudah terlambat, tanpa diketahui siapapun aku harus bertanggung jawab atas kehamilan Fatma.........
Kalimat terakhir hanya berani kuucapkan dalam hati. Sungguh kumenyesal telah melakukan perbuatan keji itu. Aku telah menzalimi diriku dan Fatma. Terlebih lagi ku telah zalim pada Allah. Rasa sesal itu tak pernah habis hingga kini. Aku malu telah berbuat dosa. Aku yakin hal seperti inilah yang ditentang keras oleh gadis-gadis seperti Alia. Aku merasa benar-benar tidak pernah pantas untuk Alia.
"Setelah itu tanpa kusadari aku terlalu tega meminta kompensasi padanya. 'Jika bukan aku, sahabatku.' Aku memintanya menerima Nandar yang telah lama mengaguminya. Maksudku tidak lain adalah agar hati Alia kembali lembut. Sikapku itu membuat Alia tersinggung dan menarik diri, menganggapku terlalu kejam menghakiminya." Kurasakan debar jantungku kencang, penuh sesal... Begitulah sepenggal kisah kusampaikan pada Ahyar.
"Turut campurku pada masalahmu ini bisa saja membuat Alia menjauh seperti dulu, Yar. Aku hanya bisa memberi saran padamu. Kau tidak perlu menghabiskan waktu hanya sekedar mencari perhatiannya. Itu sama sekali tidak akan ditanggapi Alia. Jika kau benar-benar cinta dan serius padanya, terserah dengan cara apa, terus teranglah dan katakan kau berniat melamarnya. Jangan menunda lagi."
"Sekarang aku mengerti. Terima kasih dengan saranmu teman. Setidaknya kau membuka pikiranku tentang Alia. Aku yakin, Alia memiliki cinta yang luas diruang hatinya." Aku senang melihat Ahyar optimis kembali.
Kami pun melanjutkan rutinitas kembali. Kupacu gas dengan perlahan meninggalkan Ahyar. Dari balik spion, kulihat Ahyar tertunduk sejenak, lalu melangkah menuju kantornya yang tidak jauh dari tempat itu.
Pengalaman siang ini terasa sangat berat. Meski beban hatiku berkurang, tak urung kutelpon Fatma istriku. suaranya yang lembut itu membuatku merasa rileks kembali. Kami pernah berbuat salah dan khilaf. Karena itu aku dan Fatma menutup lembar hitam kehidupan kami dan sepakat berubah. Aku berusaha mengubur kenanganku bersama Alia, meskipun tak pernah mampu memaafkan kesalahanku padanya. Hal yang menghiburku adalah melihat Fatma semakin rapat berhijab, solehah, santun dan taat padaku sebagai suaminya. Ia telah membuat bibit cinta itu tumbuh dan mekar dalam hatiku.
Diam-diam di dalam hati terjumput doa , semoga dinding es itu melebur, dan Allah menyatukan hati mereka. Aku berharap Ahyar menemukan cara terbaik untuk meneruskan ihtiarnya itu.


...simak lanjutannya yach :)

Tuesday, November 04, 2008

Fakta ilmiah untuk tulisanku

Rasanya meledaklah semangat ini tiap kali mendapati fakta ilmiah dari tema tulisanku. Mengapa? Fakta-fakta ilmiah adalah gambaran realita yang menjelaskan penggalan-penggalan peristiwa yang mendukung sebuah kerangka pikir dasar. Semakin banyak fakta, semakin dekat ide itu terhadap realita dan makin mungkin ide tersebut untuk direalisasikan. Itu berarti akan semakin mudah untuk memaparkan ide tersebut menjadi sebuah informasi baru.

Hal yang penting lagi adalah bagaimana aku mampu merespon informasi atau fakta-fakta yang ada. Kuyakin respon itu perlu tahapan proses. Diawali dengan pemahaman. Apakah aku benar-benar bisa mengerti pesan dan inti informasi tersebut. Mengerti dalam lima unsur, yaitu: apa, kapan, di mana, bagaimana, mengapa. Setelah paham suatu fakta, maka dilakukan penyaringan. Tidak semua informasi luar biasa itu mendukung ide yang akan kita sampaikan. Perlu memilah-milah jalinan ide yang terangkum dalam sebuah fakta/informasi. Ada bagian yang dapat diambil secara substansial, dan ada pula yang hanya bisa disadur metode dasarnya saja. Tergantung kebutuhan.

Lalu, apakah informasi/fakta itu benar? Nah, ini adalah hal yang menarik, karena tidak semua informasi itu benar. legalitas sebuah fakta memang sangat perlu dicermati. Menurutku pada umumnya fakta ilmiah dipaparkan oleh sumber yang jelas. Baik dari segi penulisnya (latar belakang pendidikan dan bidang yang digelutinya) maupun isi dari ide yang dibawakan (yang kebanyakan didukung oleh saduran/kutipan dari fakta-fakta yang jelas pula). Nah loh... mungkin perlu bahasan tersendiri kali yach :)

Semangaaat!!

Monday, November 03, 2008

Sudah saatnya

Batu sandungan itu telah membenturku sejak awal. Hal yang telah kusadari dan pahami. Aku yang bebal dan tidak ingin menyerah hanya memandang batu itu sebagai tempaan yang akan mematangkan langkahku ke depan. 'Sukses adalah ketika ada hambatan maka kita mampu bangkit kembali', begitu pikirku. Karenanya sejak awal.. aku tidak mengindahkan adanya sandungan itu dan terus berjalan dan mencari cara yang lebih baik.

Namun kesabaran ada batasnya. Ketika rintangan dan cobaan terus datang dengan wujud yang lebih besar dan semakin besar, aku sempat terhenyak dan bersedih. Bukan karena putus asa, namun terasa sakit dan lelah. Walau semangat berjuang tidak pernah luntur, kekuatan tubuh ini ada batasnya, begitu pula dengan kesabaran. Aku butuh jeda untuk berpikir dan mengumpulkan kekuatan kembali. Otak berpikir keras. Mata terbelalak dan awas. Telinga menjadi lebar dan tajam. Hati pun penuh zikir dan harap. Rasanya seluruh indera bahu membahu mendukungku. Hingga pada suatu saat pertolongan Allah datang. Saat itulah aku mengerti tentang harapan. Jangan pernah menyerah pada nasib. Selagi tubuh dan pikiran masih sehat, manfaatkan potensi itu untuk berusaha.

Kini aku kembali dihadapkan oleh takdir yang kian rumit. Setelah Allah melapangkan jalan, takdir lain memberi ujian. Apakah benar itu ujian? Aku yang lemah dan daif ini hanya dapat menghibur diri dengan anggapan serupa. Ujian yang begitu besar dan teramat besar yang entah maknanya seperti apa. Ataukah sandungan itu peringatan? Aku hanya dapat mengelus dada, meneteskan air mata, dan terpekur di atas sajadah. Serasa jalan telah buntu dan tak ada lagi kesempatan untuk maju mewujudkan impian. Ingin teriak dan marah, namun kusadar dan seketika malu lalu berpikir. Rejeki itu hanya pinjaman. Kita hanya manusia, tidak tahu kapan datang dan perginya. Saat terbentur, Allah membiarkanku meminta, dan Ia memberi. Saat ini Allah mengambilnya kembali pun agar aku benar-benar paham bahwa dunia ini fana. Untuk memberiku pemahaman tentang mujahid yang tulus dan ikhlas.

Sudah saatnya. Sudah saatnya aku mengais permata hikmah. Sudah saatnya aku berdiri tegar dan ikhlas. Sudah saatnya aku mengumpulkan makna-makna berserak yang terjalin sepanjang jalan perjuanganku. Karena dari bulir-bulir ikhtiar mengandung sejumlah kesuksesan. Menganyamnya menjadi wadah yang kokoh untuk mendulang butir-butir kesuksesan selanjutnya. Karena pengalaman tidaklah pernah sia-sia. Aku akan kembali bergerak dan berjuang. Hanya mencari rahmat dan rildo-Nya. Biarlah impian itu berlalu. Aku akan menyongsong masa yang panjang terbentang di hadapan. Karena aku yakin Allah telah mempersiapkan sesuatu yang terbaik dan membahagiakanku. Ialah Maha Mengabulkan doa, dan Ia Maha Menepati janji.

Wallahu 'alam bissawab.
Mengingat-ingat

Allah telah memberiku begitu banyak potensi dalam diri yang terus bertambah dan bertambah, namun aku seakan-akan orang yang begitu miskin dari karunia Allah. Merasa waktu dan tempat tidak cukup memberi apa yang kubutuhkan, berandai-andai bahwa aku telah memiliki karya yang monumental yang seharusnya telah terjabarkan. Merasa waktu begitu lambat mendongkrak kesuksesanku hingga terus merasa tertinggal. Menganggap diri merasa tidak dan tidak secara pesimis, seakan-akan aku orang yang miskin iman dan keyakinan.

Apakah aku tengah mengalami krisis 30 tahun (jika bisa dikatakan begitu) yang dengan tertundanya kesuksesan membuat berang dan penasaran! Rindu dengan kelincahan mental dan kemurnian ekspresi yang benar-benar jauh dari rasa tertuntut oleh realita hidup. Masih merasa tertinggal meski pengejaran terus dilecuti oleh semangat dan kesadaran.
Bagaikan terbangun dari khayal setelah merasakan sakitnya dihempas oleh gulungan-gulungan arus realita ke daerah antah-berantah. Mendapati eksistensi diri yang sulit menghadapi buah dari ulah sendiri dan terkungkung oleh kebingungan. Hasrat bertahan dan berjuang sangatlah dalam namun tuntutan itu terlampau besar dan diri yang kepayahan. Apakah yang tengah terjadi pada diriku?

Aku yakin ada daya yang maha besar bercokol dalam tiap diri seseorang yang belum lagi tergali, ada kerja otak yang belum tereksploitasi pada tiap-tiap kepala manusia, ada energi positif yang dahsyat yang masih mengendap dibalik potensi yang tidak terasah baik. Karena kutahu Allah telah mencipta manusia menjadi makhluk yang paling sempurna. Dengannya kuyakin dan tak akan menyerah.

Wednesday, October 29, 2008

Biarlah


Tubuh seperti keram. Namun enggan berhanjak juga. Hari masih terang...pun malam terasa menepuk sadar senantiasa. Berkata pada ruang terjaga... jangan lengah saat ini. Teruslah lihat, teruslah bergerak karena waktu tak akan berulang.

Ohh, jalan terasa masih demikian panjang. Tapi siang yang terang dan malam yang sadar terus memberi kejutan. Ya ALLAh Yang Memegang kuat Jiwa. Berilah senantiasa harapan, sisipkanlah senantiasa pijar-pijar semangat, tuntunlah mata yang rabun dan buta.

Aku yang keras pada diri, biarlah kelak ku sambut benih yang berbuah, karena buah kesabaran akan manis rasanya.

Tuesday, October 07, 2008

Menjadi Dirimu

Saat orang lain mengatakan dirimu begini kamu akan menganggap dirimu begini. Ketika lain orang mengatakan dirimu begitu kamu akan berubah persepsi bahwa dirimu begitu. Lalu adakah ketika kamu mengatakan dirimu siapa dan kamu akan terpuruk?

Sesungguhnya yang paling mengenalmu adalah dirimu sendiri. Lalu kamu tidak perlu kikuk apa kata orang. Orang berbicara hanya dengan bercermin pada diri mereka sendiri, meraba kulit, tidak benar-benar tahu. Hanya berharap dirimu sama dengan prasangka mereka. Dengan begitu mereka merasa bisa memahami dirimu. Yang perlu dipahami adalah kamu memahami siapa dirimu sendiri dan apa yang kamu mau.
Tidak berarti bahwa kamu tidak membutuhkan siapa-siapa. Tanpa mereka kamu merasa tidak berarti. Hidup sendiri, menikmati kesenangan dan duka sendiri, mengambil keputusan sendiri, kesendirian itu justru membuatmu bingung dan hampa. Lalu apa gunanya hidup jika tidak berguna bagi orang lain.

Jujur saja bahwa kamu ingin merasa berguna, meski orang itu mengatakan kamu begini dan begitu. Kamu akan berusaha memahami mereka sebagaimana mereka berusaha memahami dirimu. Tak perlu sungkan menghadapi dirimu dan dinamika hidup. Tak perlu lari bersembunyi ke balik tabir acuh dan malu. Terima takdir dengan "nerimo", supaya otakmu waras dan selaras.

Wednesday, October 01, 2008

Beduk kemenangan gemuruh ditabuh
Suaranya menggema di ruang kalbu
Dentumnya mendesak ucap tulus
Saudara..sahabat.. maafkan aku
Khilaf dan salah biarlah berlalu
Hingga fitri menjelma padamu


Taqabbalallahu minna wa minkum
shiyamana wa shiyamukum

IED MUBARAK

Ingin Jadi Apa?

Pertanyaan-pertanyaan yang terkadang mampir dan bersarang di kepala....

Apa yang sedang kau lakukan? Yang kau inginkan? yang kau tuju? Ketika sampai di suatu jalan, apakah kau bertanya yang sama? Saat itu apakah jawabnya masih sama ataukah yang timbul hanya alasan demi alasan?

Hidup terkadang memaksa kita berada pada situasi yang berbeda. Memaksa diri kita bertahan menggunakan hati dan logika. Memaksa pikiran kita lebih kreatif. Siapa tangguh, ia akan terus memiliki jawaban yang sama. Siapa yang pengecut ia hanya akrab dengan beribu alasan. Dan siapa yang memiliki jawaban yang berbeda? Mungkin mereka yang benar-benar terdesak oleh keadaan lalu melakukan switching, mengikuti arus sambil membuat langkah-langkah baru untuk tujuan yang sama.
Yang penting adalah apakah kau benar-benar yakin dengan pilihan hidupmu? Tujuanmu? Karena langkah adalah proses dan hiburan. Keyakinanlah yang membuatmu berani mengambil keputusan, melangkah, dan bertahan. Jika kau tidak sedang benar-benar yakin, tanyakan kembali pada hatimu apa yang sebenarnya kau inginkan dan resiko apakah yang kira-kira ada didepan. Mintalah nasehat pada Sang Khalik, Pemilik jiwa dan Hati. Jangan biarkan kebodohan merabunkan pandanganmu. Pikirlah jernih melihat masa depan. Karena hidup bukan permainan.

Tuesday, September 16, 2008

Komunikasi dengan kekurangan diri

Masihkah seseorang takut berkomunikasi dengan kekurangan dirinya? Mungkin. Mungkin karena takut kehilangan percaya diri, menjadi lebih rendah diri, malu pada diri sendiri, menyesali diri, bahkan menimbulkan kebencian pada diri sendiri. Benarkah? Kekurangan diri memang bisa merugikan diri di saat seseorang tak mampu berkomunikasi dengannya dengan baik. Hanya membiarkan ketakutan menguasai hingga yang terjadi persis seperti yang dipikirkan. Padahal dalam hal ini kekurangan bukan momok melainkan pikiranlah yang momok.

Aku salut pada orang yang mampu mengubah kekurangan dirinya menjadi kelebihan. Kurasa karena orang itu diliputi unsur-unsur positif seperti ikhlas, motivasi, terbuka, lapang dada, dan keyakinan. Katakutan-ketakutan di atas jauh dari dirinya. Yang mereka inginkan adalah bagaimana kekurangan itu tidak menghalangi langkah-langkah majunya, maka apa yang ia miliki semuanya adalah potensi yang membangun, energi positif.

Lalu, bagaimana cara berkomunikasi dengan kekurangan diri agar menemukan kelebihan-kelebihan baru? PR besar untuk setiap pribadi yang ingin berubah. Jika aku cukup capable berinteraksi dengan kekurangan diri yang kumiliki, mungkin langkah awal yang kulakukan adalah:
- Jujur pada diri sendiri
- Syukur nikmat
- mencari tahu seberapa jauhkah kekurangan itu mempengaruhi diri
- pikirkan langkah-langkah inovatif untuk mengantisipasi pengaruh tersebut
- jaga kedisiplinan

Kalau ada ide baru catat disini.
Cintanya Sahabat

"Ya Allah. Jadikanlah kami sahabat...yang

Saling cinta di kala dekat
Saling menjaga di kala jauh
Saling menghibur di kala duka
Saling mendoakan dalam kebaikan
dan...
Saling menyempurnakan dalam ibadah
Amin. "

Demikianlah sms yang dikirim oleh seorang kawan saat subuh hari kemarin. Seketika itu juga setelah membacanya, aku pun berujar 'Amin..'
Begitu indah doa itu. Kurasa juga lahir dari hati yang bersih nan cantik. Niat yang tulus, dan telah ia mulai dengan ikhtiar yang baik. Sederhana, tapi sungguh semakin meresapinya membuatku merinding, hati bergetar. Takut tapi sekaligus bahagia.
Takut saat kusangsi betapa jauh diriku dari kepribadian yang ia tuntut. Namun bahagia saat menyadari hadirnya sahabat yang sejatinya tengah bersiap memulai hubungan baik dengan ridlo Allah Ta'ala. Mengapa aku sulit bersyukur? Seharusnya tidaklah perlu prasangka. Cukuplah memulai dari cinta yang tulus... ketakutan dan keraguan akan tersingkir jauh.
Wahai sahabat, mari tenggelam dalam cinta. Sebarkan cinta seperti cintanya Sahabat kepada para Sahabat, cintanya Sahabat kepada Rasulullah saw, dan cintanya Rasulullah terhadap umatnya. Yang menjadikan cinta hamba kepada Rabnya lebih kukuh. Hingga kita sejuk dalam Ridlo-Nya.

Wednesday, August 20, 2008

Mengais Senja

Roda dan irama hari bergerak
Pesona dirinya berarak
Di depan diriku yang diam nan beriak
Menangkap gambar tak jelas
Namun kutak harap lepas

Makin dalam semakin jelas
Membekas meski jalan telah tandas
Ranumnya jiwa tetap meremas
Mengulum panas tak jera....

Lalu kemana jejak itu pergi
Kusadar tak lagi berarti
Tinggal yang senja ini sendiri
Mengais jiwa...ranum tak terpetik

18 April 2008