Thursday, November 20, 2008

Alia (bag.-1)

Hingga dhuha tadi, hujan sempat mengguyur kota. Awan tipis masih menyisakan hawa sejuk yang merayapi sudut gedung pencakar langit yang sumpek. Mentari yang menelusupkan sinarnya pun mulai tersenyum cerah nan bersahabat, mengendurkan syaraf pekerja kantor yang senantiasa bersemangat.
Tugasku masih banyak menumpuk, tapi perutku siang ini bergemeriuh minta diisi. Jika tidak, maag itu akan menderaku lagi. Jika kuturuti fighting spirit tentu pekerjaan ini tidak ada habisnya. Kebetulan usai dhuhur tadi Ahyar sms ingin ditemani makan siang sambil membicarakan sesuatu. Itu cukup membantuku meninggalkan penat sejenak.
Setiba di Restoran Lumayan, tampak Ahyar telah menanti, ia melambai padaku. Segera saja kuhampiri ia.
"Hai Dan, syukurlah kau mau kuajak makan siang ini. Aku tidak mengganggumu kan!" sapa Ahyar.
"Kali ini kau beruntung kawan. By the way, ada yang penting banget ya?" sahutku menimpali.
Tapi Ahyar hanya diam mengangguk. Aku heran saja, tidak biasanya Ahyar mengajak lunch di restoran mahal seperti ini. Tapi suasananya asik juga, nyaman dan tenang.
Sejak bertemu pada sebuah proyek pesisir, aku dan Ahyar jadi sering terlibat bersama dalam kerjasama bisnis. Kami semakin dekat hingga bisa dibilang hubungan kami sudah selayaknya saudara sendiri. Meski jarang bertemu namun kami telah saling mengenal watak. Keluarga kami pun sudah sama akrabnya. Aku senang berkawan dengannya. Ia smart, berpikir praktis, dan berpandangan ke depan. Kami sering bertukar pikiran dan ngobrol dari hati ke hati.
"Ada apa gerangan. Katamu ingin membicarakan sesuatu.." tanyaku mendesak.
"Kita makan dululah!" Kata itu saja yang diucapkannya.
Kami pun menikmati beragam sea food yang telah tertata apik, benar-benar menarik selera. Apalagi jika disantap saat lapar seperti ini, akan terasa sangat nikmat. Ahyar menyantap hidangan itu dengan lahap, bagaikan tak makan seharian. Hanya saja ia lebih pendiam. Aku pun tidak mengusiknya hingga hidangan tersebut habis tuntas.
Usai makan, kukatakan padanya bahwa aku mendapat paket liburan karena targetku setahun ini tercapai. Begitulah, mengekspresikan kegembiraan adalah kebiasaan kami. "Baguslah..Selamat ya" Ia tersenyum, tapi matanya tak bercahaya. Sikapnya membuatku hawatir.
"Ahyar, sebenarnya ada apa denganmu? Sejak tadi kau diam saja" tanyaku mengalihkan topik. Sejak awal tadi ia tidak banyak bicara. Aku curiga ini bukan masalah bisnis. Wajahnya pun muram.
"Kabar Alia bagaimana?" Mungkinkah gadis itu ada hubungannya dengan keresahan Ahyar ini?
Wajah yang sedari tadi tertunduk, diangkatnya pelan. Tak elak ia menimpali, "Alia...!? Kabarnya baik, Dan. Ia selalu tampil lebih baik dan bersemangat setiap harinya. Bahkan saat bertemu, ia semakin terampil membuat alasan untuk menghindar dariku!" Benar, gundah itu pun dilontarnya dengan suara meninggi. Ia tidak butuh waktu lebih lama menahan keluh yang mengganjal hatinya.
"Oh ho, rupanya ini masalah wanita ya..!" Aku sedikit menggodanya. Sejurus kemudian kuminta ia tenang.
"Bicaralah perlahan, aku akan mendengarmu" kataku serius.
Sambil memperbaiki duduknya, Ahyar bertanya, "Dani, kamu pernah cerita bukan, bahwa Alia dulu adalah sahabatmu!"
"Betul"
"Maksudku..harus bagaimana lagi untuk mengetuk hati Alia. Kau tahu kan kalau aku mencintainya. Sudah berbagai cara kulakukan agar aku bisa mengungkapkan isi hatiku. Aku menginginkannya, Dan. Namun itu bagaikan hal yang mustahil. Untuk bisa mendekatinya saja alangkah sulitnya. Aku tidak menduga ada wanita sedingin Alia di dunia ini..." kata Ahyar masygul. Matanya meronakan kesedihan mendalam, galau. Cinta dan kagumnya telah menanamkan azzam pada dirinya untuk melamar gadis itu. Namun kini Ia seperti orang yang putus asa.
Awalnya aku merasa heran. Yang kutahu, Ahyar bukanlah tipe cowok yang akan sulit berhubungan dengan seorang wanita. Jika ia mau, ia bisa dengan mudah mendapatkan wanita mana pun. Bagaimana tidak, ia laki-laki yang supel, populer, karismatik, terpelajar, ganteng, kaya, dan yang terpenting ia laki-laki yang baik dan sholeh. tak sedikit wanita yang mengidamkan diri menjadi bidadarinya. Tapi keherenan itu seketika lenyap saat kutahu gadis yang ia maksud adalah Alia.
"Dani, maukah kau membantuku?" suara Ahyar membuyarkan lamunanku.
"Aku memang pernah menjadi sahabatnya. Aku tahu ia wanita yang sangat ketat menjaga diri, sangat keras terhadap dirinya sendiri, juga sangat mudah baginya menganggap sesuatu hal sebagai ancaman. Meskipun aku pernah mengingatkan bahwa sifat itu suatu saat bisa merugikan dirinya sendiri, ia tidak berubah. Tapi, aku tetap menghargai ia yang kuat memegang prinsip. Kurasa ia selalu tahu apa yang dilakukannya." jelasku.
Ahyar diam menyimak. .
"Masalahnya, Alia jarang mengkomunikasikan pikirannya dan keinginannya yang bersifat pribadi. Ia hanya membiarkan orang lain menebak-nebak" kataku menambahkan.
"Aku merasa ada sesuatu yang telah terjadi padanya. Pernahkah ia putus cinta? Atau mungkin disakiti oleh lelaki?" Pertanyaan Ahyar membuatku rikuh. Seketika lidahku kelu. Aku bimbang, apakah harus menceritakan kisah lalu itu ataukah diam. Sungguh tidak mudah mengungkap derita hati yang telah kukubur dalam. Hal itu sama saja dengan merobek luka lama yang sejatinya belum sembuh...
"Benar Ahyar. Alia pernah mencintai seseorang. Namun cintanya dikhianati.." Suaraku tercekat. Rasanya memalukan sekali. Ingin kutarik saja kalimat itu kembali. Ahyar memandangku sangsi.
"Dan orang itu adalah kamu..?" Begitu cepat pertanyaan spekulatif itu menyerangku. Wajahnya serius. Mungkinkah bercerita akan membuat Ahyar paham. Ya Allah, semoga yang kulakukan ini baik dan benar.
"Benar. Orang itu adalah aku!" Ahyar kaget terpaku, nampaknya ia tak percaya.
"Ahyar, Akan kuceritakan kau yang sebenarnya. Saat itu aku limbung, Yar." Kuceritakan padanya apa yang pernah terjadi antara aku dan Alia.
"Dulu saat kuliah, Alia adalah wanita yang sangat pendiam namun karakternya kuat dan menonjol. Ia mampu memberi pengaruh positif terhadap teman-teman yang berada di dekatnya. Dengan sikapnya yang ramah dan lembut, lebih banyak berbuat ketimbang bicara. Ia sangat dikagumi oleh siapapun. Kekaguman itu pula yang membuatku betah bersahabat dengannya. Sikap ramahnya tak berbatas, bahkan ia bisa bergaul baik dengan orang-orang yang tidak kami sangka. Ia teman yang sangat kompak dan visioner. Tapi dalam masalah cinta, Alia seperti sebuah misteri. Ia sulit sekali diraih."
"Kekagumanku padanya lambat laun menimbulkan cinta yang mendalam. Suatu hari, sorot mata Alia tak sengaja menafsirkan sesuatu. Setiap kali saat pandangan kami sekilas bertemu, mata itu menarik seluruh perhatianku. Hingga suatu ketika tak urung lagi kuutarakan perasaanku padanya. Saat itulah makna sorot mata Alia terkuak, ia juga mencintaiku. Hati siapa yang tak bahagia merasakan cinta yang bersambut. Aku benar-benar mencintainya. Mendengar jawabannya aku bahagia tiada tara, jantungku seperti melompat-lompat. Hanya dengan mendengar jawaban itu membuatku sangat bersyukur dan beruntung. Meski hampir tak percaya, aku menikmati saat-saat itu bagaikan berada dalam mimpi yang terindah. Tak percaya karena teman-teman bilang mustahil 'menembak' seorang Alia. Aku berhasil. Aku terlena.
Aku terlalu kalap oleh rasa gembira, hingga shoke ketika kuminta ia jadi pacarku dan Alia menolak. Ia tidak ingin pacaran. Ia hanya memintaku bersabar untuk menyimpan rapi perasaan itu tanpa alasan yang jelas. Batinku bertanya sampai kapan?"
"Sungguh saat itu aku tidak mengerti apa yang ia pikirkan. Yang kurasakan adalah kecewa dan terabaikan. 'Untuk apa katakan cinta jika akhirnya tak bersama' aku merasa disia-siakan. 'Apa salahnya berpacaran, apakah aku begitu menjijikkan?' batinku menangis. Aku tidak terima dengan sikap angkuhnya itu. Ia tidak berhak melakukan ini padaku. Selama ini aku tidak pernah ditolak dan tidak sedikit yang ingin menjadi kekasihku. Aku tidak terima. Mengapa mesti Alia....!' Saat itu aku limbung. Menganggap itu suatu petaka yang terhebat. Itu karena aku benar-benar menyukainya. Ia yang kuinginkan, tidak yang lain."
"Waktu berlalu hingga menjelang kami lulus kuliah. Alia tidak pernah berubah, sikapnya, pandangan matanya masih hangat seperti dulu. Melihatnya seperti itu batinku justru makin terasa sakit dan tersiksa. Kami begitu dekat namun kerinduanku begitu memuncak. 'Alia, hatimu terbuat dari apa? Tuntutlah aku dengan satu hal saja, jangan diam begitu. Apa sebenarnya yang ingin kau tunjukkan padaku?' Kalimat itu yang selalu menemani luka-luka hatiku."
"Hingga suatu saat, sahabat kami Fatma, sengaja hadir mengisi hari-hari sepiku. Sikapnya yang lemah lembut senantiasa menemani dan menghiburku. Tanpa kusadari aku bergantung apapun padanya. Bisa dikatakan ia adalah obat perindu. Dengan kejam aku menghakimi Alia dengan selalu memperlihatkan kebersamaan kami. Setelah itu segalanya berubah. Meskipun konsistensi Alia masih ada di hadapanku pandangannya tak lagi hangat, matanya terluka oleh kebersamaan kami. Ia membeku. Lama setelah itu aku baru tersadar bahwa aku telah menodai cintaku. Aku sakit telah melukai Alia. Namun, semua sudah terlambat, tanpa diketahui siapapun aku harus bertanggung jawab atas kehamilan Fatma.........
Kalimat terakhir hanya berani kuucapkan dalam hati. Sungguh kumenyesal telah melakukan perbuatan keji itu. Aku telah menzalimi diriku dan Fatma. Terlebih lagi ku telah zalim pada Allah. Rasa sesal itu tak pernah habis hingga kini. Aku malu telah berbuat dosa. Aku yakin hal seperti inilah yang ditentang keras oleh gadis-gadis seperti Alia. Aku merasa benar-benar tidak pernah pantas untuk Alia.
"Setelah itu tanpa kusadari aku terlalu tega meminta kompensasi padanya. 'Jika bukan aku, sahabatku.' Aku memintanya menerima Nandar yang telah lama mengaguminya. Maksudku tidak lain adalah agar hati Alia kembali lembut. Sikapku itu membuat Alia tersinggung dan menarik diri, menganggapku terlalu kejam menghakiminya." Kurasakan debar jantungku kencang, penuh sesal... Begitulah sepenggal kisah kusampaikan pada Ahyar.
"Turut campurku pada masalahmu ini bisa saja membuat Alia menjauh seperti dulu, Yar. Aku hanya bisa memberi saran padamu. Kau tidak perlu menghabiskan waktu hanya sekedar mencari perhatiannya. Itu sama sekali tidak akan ditanggapi Alia. Jika kau benar-benar cinta dan serius padanya, terserah dengan cara apa, terus teranglah dan katakan kau berniat melamarnya. Jangan menunda lagi."
"Sekarang aku mengerti. Terima kasih dengan saranmu teman. Setidaknya kau membuka pikiranku tentang Alia. Aku yakin, Alia memiliki cinta yang luas diruang hatinya." Aku senang melihat Ahyar optimis kembali.
Kami pun melanjutkan rutinitas kembali. Kupacu gas dengan perlahan meninggalkan Ahyar. Dari balik spion, kulihat Ahyar tertunduk sejenak, lalu melangkah menuju kantornya yang tidak jauh dari tempat itu.
Pengalaman siang ini terasa sangat berat. Meski beban hatiku berkurang, tak urung kutelpon Fatma istriku. suaranya yang lembut itu membuatku merasa rileks kembali. Kami pernah berbuat salah dan khilaf. Karena itu aku dan Fatma menutup lembar hitam kehidupan kami dan sepakat berubah. Aku berusaha mengubur kenanganku bersama Alia, meskipun tak pernah mampu memaafkan kesalahanku padanya. Hal yang menghiburku adalah melihat Fatma semakin rapat berhijab, solehah, santun dan taat padaku sebagai suaminya. Ia telah membuat bibit cinta itu tumbuh dan mekar dalam hatiku.
Diam-diam di dalam hati terjumput doa , semoga dinding es itu melebur, dan Allah menyatukan hati mereka. Aku berharap Ahyar menemukan cara terbaik untuk meneruskan ihtiarnya itu.


...simak lanjutannya yach :)

No comments: