Thursday, November 20, 2008

Alia (bag.-2)

Liburan ke Yogya adalah pilihan kami secara demokratis. Itu membuat Adi, Bams, dan Nisa bersorak gembira. Mereka yang memilih dan mengatur sendiri pakaian dan mainannya, kecuali si bungsu Nisa yang masih harus dibantu bundanya. Mereka tak hentinya menunjukkan keusilan sebagai letupan kegembiraan. Apalagi Nisa yang baru belajar iseng membongkar-bongkar bonekanya, juga mainan kakaknya. Mereka anak-anak yang aktif, aku bangga pada mereka. Fatma yang tiap hari dibuat kewalahan oleh putra-putri kami pun - meski dengan wajah yang tak lepas dari gurat letih - senantiasa terhibur oleh kelucuan dan pola tingkah cerdas mereka yang spontan.
Lebih menyenangkan menjelajah Yogya dengan berkendaraan sendiri, maka kami berangkat dari Jakarta dengan mobil pribadi. Di dalam perjalanan, Adi dan Bams tak lelah menghafal-hafal nama kota yang kami lalui. Bahkan mereka membuat gambar peta berdasarkan imajinasi mereka sendiri. Suatu kreatifitas yang terkadang membuatku geli sendiri sekaligus bangga.
Setiba di Yogya, kami menginap di wisma yang cukup nyaman Milik Pak Gunadi, Letaknya tak jauh dari Alun-alun Keraton. Kata rekan kerjaku yang orang Yogya, dari sini tempat-tempat yang akan kami kunjungi dapat dijangkau lebih mudah.
Pada hari pertama, penjelajahan kami dimulai dengan mengunjungi sebuah rumah produksi batik. Selain dapat memilih baju yang telah jadi, kami bisa pula melihat cara membuatnya. Aku dan Fatma kemudian memilih beberapa batik untuk dipakai sendiri dan beberapa lagi untuk oleh-oleh.
Setelah puas, kami pun beranjak dari tempat itu menuju pesanggerahan pelatihan lukis kain. Ini adalah permintaan Adi dan Bams yang berbakat lukis. Mereka sangat antusias dan konsentrasi mengikuti kursus kilat itu yang hanya berlangsung setengah hari.
Tengah hari telah lewat, kelelahan tergambar di wajah anak-anak. Setelah kunjungan kami usai, pelan-pelan kubawa mobil melintasi jalan malioboro yang ramai sesak. Kami pun singgah untuk mampir ke sebuah restoran. Setelah memesan menu, makanan itu pun disantap dengan lahapnya. Kami pun keluar dari restoran itu dengan perut yang kenyang.
Tapi rasa kenyang tak membendung watak asli anak-anak yang usil. Sore itu, mereka masih saja berlarian di antara pedagang pinggir jalan malioboro. Aku segera mengejar Bams yang biasanya lebih ceroboh. Hampir saja ia menarik rontok seikat mainan kayu yang menarik perhatiannya. Sedangkan Adi sudah sibuk memilih-milih aksesoris di koridor seberang jalan dari tempat kami berdiri.
Ia melambai-lambaikan tangannya sambil tertawa nakal. Isyaratnya memanggilku untuk menyusulnya, pikirku ia ingin dibelikan sesuatu. Kupinta Fatma menunggu sebentar sementara aku menyeberangi jalan menjemputnya.
Adi terus melambai tak sabaran sambil berlari, hingga tanpa sengaja menubruk seorang gadis berjilbab, "Brukk..." Adi terjatuh. Gadis itu kaget sekali. Namun ia dengan sigap menunduk dan meraih membantu Adi berdiri. "Kau tidak apa-apa adik kecil?" tanya gadis itu prihatin sambil menatap Adi, terpana.
Adi menunduk dan menggeleng, "Maafin Adi Tante!" kata Adi menyesal.
"Tidak apa-apa, Tante tidak marah koq!" hibur gadis itu kemudian.
"Kamu bersama siapa, Adi?" tanya gadis itu akhirnya.
Adi kemudian menunjuk ke arahku yang telah berada tak jauh di belakang mereka. Gadis itu menoleh, dan betapa terperanjat aku saat kutahu bahwa gadis itu adalah Alia. Aku tak menyangka akan bertemu dengannya di kota ini. Pertemuan ini adalah yang pertama kalinya sejak berpisah sepuluh tahun lalu menjelang pernikahanku dan Fatma.
Alia pun tak kalah kagetnya. Matanya menatapku terpaku sambil tangannya masih menggenggam pergelangan Adi. Mungkin darahnya terkesiap melecut kegaguannya hingga tak mampu berkata apa-apa. Aku merasa ragu dengan sikapnya yang tak bisa kutafsirkan. Apakah ia masih menyimpan amarah atau sekedar guncangan yang khas.
Tiba-tiba Adi melepas tangan Alia dan berlari menarik ujung bajuku, "Ayah, Adi yang salah" serunya khawatir jika ayahnya marah. Adi melirik Alia pelan. Kuusap punggung Adi menenangkan, mengangguk dan mencoba tersenyum pada Alia.
"Alia. Tidak sangka bertemu denganmu di sini" sapaku menekan ragu.
"Ya. Aku juga tidak menyangka.." Ia tertunduk menatap Adi. Kini wajahnya melembut.
"Putramu?"
"Ya, dan kurasa kalian sudah saling kenal" tanyaku meyakinkan. Alia tersenyum dan mengangguk.
Sesaat kemudian Fatma menyusul kami. Ia langsung menghampiri Alia. "Lama sudah kita tidak bertemu, Alia! Aku senang bisa melihatmu lagi" sapanya sambil memeluk gadis itu.
"Senang bertemu kalian juga." Alia tersenyum ramah dan menyambut pelukan Fatma..canggung namun hangat.
Ia nampak tulus menghadapi pertemuan ini. Seakan-akan waktu telah menyembuhkan lukanya. Aku merasakan penyesalan yang dalam karena pernah memperlakukannya tidak adil. Bagaimana pun aku ingin sekali mengungkapkan permohonan maafku padanya, walau mungkin baginya hal itu sudah terlambat.
"Oh ya, Alia. Kamu sedang apa di Yogya?" tanyaku mengubah topik.
"Aku bersama rekan kantor dan beberapa relasi mengikuti pelatihan di UGM sejak tiga hari lalu. Kebetulan siang tadi kegiatannya usai. Besok kami berencana kembali ke Jakarta."
"Aku melihatmu sedang berbelanja!" tanya Fatma menimpali.
"Ya...sekedar oleh-oleh" katanya tersenyum sambil melirik tas bawaannya.
Kami terdiam. Entah harus berkata apa lagi. Perasaan canggung kembali merayapi kami.
"Maafkan aku..!" Kalimat Alia yang tiba-tiba terlontar menyergap perhatianku. Ia menatap kami lekat.
"...karena aku tidak memenuhi undangan pernikahan kalian."
Fatma kulihat tertunduk. "Tak perlu minta maaf, Alia. Semua itu sudah berlalu!" kataku cepat. Saat pernikahan itu justru aku berharap ia tak hadir. Aku tak ingin melihatnya semakin terluka.
"Itu benar...meskipun ada hal yang membutuhkan waktu untuk bisa dimengerti." Kalimat itu seakan merajut. Seperti sengaja dititipkan pada angin...lalu menohokku tajam. Aku bisa mengerti yang dimaksudnya.
'Jadi itu yang selama ini ingin kau katakan, Alia?' kataku membatin. Sungguh...aku tak tahan lagi menahan rasa bersalahku.
"Alia...! Maukah kau memaafkan kami?" Kata-kata yang selama ini terkunci dalam penatku akhirnya terungkap.
Mata Alia yang terpana dalam.. menatap kami bergantian. Ia terdiam lama, membuat debaran jantungku berdetak kencang. Tapi akhirnya ia menggeleng pelan, "Seperti katamu dulu Dani, waktu akan berbicara. Yang ingin kukatakan adalah waktu telah menyadarkan aku satu hal, bahwa betapa aku telah khilaf dan bersalah padamu. Beberapa waktu lalu setelah mendengar kabarmu dan Fatma aku merasa terhibur. Hal yang telah lama kunanti-nanti adalah bertemu kalian. Aku ingin melihat kebahagiaan kalian, dan itu terwujud kini. Sungguh, kini aku senang, aku bahagia."
Betapa indah kalimat itu. Ini terlalu sempurna. Aku hampir tak percaya. Sesaat lalu kutahu waktu tak cukup untuk menyapu sesalku, namun beberapa menit setelah perjumpaan ini Alia sendiri yang menyembuhkan luka itu. Rahasia apakah ini? Fatma segera merengkuh tubuh Alia dan terisak pelan tak dapat bicara.
Mata Alia penuh haru. Ia telah tegar menerima kenyataan. Sungguh aku bangga padanya. Bahkan aku berharap kami dapat bersahabat kembali seperti dulu. Betapa hari ini telah kau kumpulkan kami kembali dalam kebaikan, Ya Allah. Engkau telah Mendengar doa-doaku. Kuhembuskan nafas lega di dada, merasakan beban yang telah terlepas jauh.

Entah sejak kapan Ahyar berdiri di sana menyaksikan kami. Lalu ia pun datang menghampiri.
"Hai Dani. Senang melihatmu disini. Kota Jogya memang asik untuk berlibur, ya." Ia kelihatan ceria sekali. Sama sekali tidak ragu memperlihatkan keakraban kami. Alia tersenyum penuh arti, ekspresi yang tak asing itu...
"Ya, Ahyar menceritakan semuanya tentang kalian. Aku sebenarnya sempat protes juga saat Ahyar cerita padaku bahwa kalian sudah saling mengenal sejak proyek dua tahun lalu. Kalau aku tahu kita kan bisa membuat hal yang lebih besar lagi dari itu. Masih ingat kan Dani, saat di kampus dulu.......
Meskipun kaget melihat perubahannya, aku senang melihat Alia berkisah, ia memperlihatkan antusiasnya kembali. Melihatnya seperti ini terasa seperti tak pernah ada masalah di antara kami. Sore itu kami tergelak bersama hingga hari hampir mengulum petang. Ahyar dan Alia pun berpamit pulang. Fatma memintanya untuk sesekali mampir ke rumah kami dan Alia menyanggupi. Mereka pun berjalan bersisihan dan saling tersenyum mesra. Kami pun berpisah menyisakan satu lagi tanda tanya tentang perubahan sikap Alia pada Ahyar. Belum lagi habis penasaran itu, tiba-tiba hand phone-ku bergetar. Sms dari Ahyar.
"Aku tidak membuang waktu lagi seperti katamu, Dani. Aku telah membawanya padamu, dan akan kuambil ia kembali. Alia telah menerima lamaranku!!"
Oh, nikmat-Mu yang mana lagi yang dapat kami sangkal.....

The End

Makassar, 16 April 2008

8 comments:

Anonymous said...

saya blom bisa nih nulis panjang kayak gini. musti banyak latihan

maksih dah mampir ke blog saya

Frida said...

Mari sama2 berlatih, town. Ini adalah cerpen pertama yang berhasil kutulis rampung. fyuh.. aku pun masih berlatih.. Semangat. Ma kasih pula kunjungan baliknya.

Anonymous said...

mantap skale cerpennya bu!!....
bait pertama cerita dah membawaku hanyut tuk baca sampai akhir cerita...

Frida said...

Ma kasih tanggapannya ya, imran. Jadi tambah semangat!

Anonymous said...

bagus ceritanya bu. penuh pelajaran bijak :)

Frida said...

Alhamdulillah, semoga ada hikmah yang dapat dipetik ya, mas arif. Terima kasih telah berkunjung ke blog saya

Genta said...

Cerpen yang menarik. Jadi ingat perjalanan beberapa tahun lalu ke Jogja.

Anyway, salam kenal bu/mba, tentunya anda lebih senior dalam tulis menulis dibanding saya :). Jangan sungkan memberikan kritik dan sarannya, saya tunggu!

Frida said...

Terima kasih. Senang berkenalan dengan Anda Genta. Just do the best!
Jangan sungkan pula dengan cara menyapa saya, Genta.